ULUMUL HADITS : MACAM-MACAM PERIWAYATAN


TUGAS TERSTRUKTUR

DOSEN PENGAMPU
Ulumul Hadits (Lanjutan)


M. Noor Fuady, M.Ag
MACAM-MACAM PERIWAYATAN
 
Oleh Kelompok 6:

Aguatian Ramadana Putra  [1501210362]
An Nisa                                  [1501210257]
Anna Izzah Mardhiyah        [1501211359]
Yusron Prayogi                     [1501211462]

Universitas Islam Negeri Antasari
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Pendidikan Agama Islam
Banjarmasin
2018

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunianya kepada kita semua, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya. Tanpa pertolongan-nya mungkin kami tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Sholawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita baginda besar Nabi Muhammad SAW. karena beliaulah yang membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang yang di terangi oleh iman, islam dan ikhsan.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan . karena itu sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Bapa M. Noor Fuady M.Ag selaku dosen pengampu mata ulumul hadits (lanjutan) yang mana telah membimbing kami dalam proses perkuliahan.
2.      Orang tua kami yang tak henti-hentinya memberikan motivasi dan dorongan serta bantuan baik dari segi materi, maupun moral.
Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran, dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya, kami sangat mengharapakan kritik dan saran, guna untuk penulisan makalah yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang, semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita Amin.



            Banjarmasin, 21 April 2018



       Kelompok 6


DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................                   i
DAFTAR ISI..........................................................................................                  ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang ............................................................................                  1
B.     Rumusan maslah  ........................................................................                  1
C.     Tujuan masalah............................................................................                  2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian periwayatan...............................................................                  3
B.     Macam-macam periwayatan........................................................                  3
1.      Riwayat Aqran dan mudabbaj..............................................                  4
2.      Riwayat as-kabir dan al-shaghir............................................                  4
3.      Riwayat sahabat dari tabi’in dari sahabat.............................                  5
4.      As-sabiq dan al lahiq.............................................................                  5
5.      Muttafiq dan muttariq...........................................................                  6
6.      Al-mu’talif dan a; mukhtalif.................................................                  7
BAB III PENUTUP
A.    Simpulan......................................................................................                  8
B.     Saran............................................................................................                13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................                  9



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis merupakan rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi historis yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan). Mempelajari hadis adalah bagian dari keimanan umat terhadap kenabian Muhammad Saw. Hal ini karena figur Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah Swt. itu tidak bisa diteladani kecuali dengan pengetahuan yang memadai tentang diri dan sejarah hidupnya serta tentang sabda dan perilaku hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah.
Kajian tentang sabda dan perilaku Nabi oleh para ahli diformulasikan dalam wujud ilmu hadis (ulumul hadis). Dalam ulumul hadis, hadis Nabi yang dipelajari tidak hanya menyangkut sabda atau teks (matan) hadis, tetapi menyangkut seluruh aspek yang terkait dengannya, terutama menyangkut periwayatan hadis dan orang-orang yang meriwayatkannya.
Melakukan pengkajian secara khusus tentang periwayatan hadis itu sangat penting. Dengan menunjukkan macam-macam periwayatan hadis, adab atau tata cara periwayatan hadis, serta cara-cara menerima dan menyampaikan hadis dapat diketahui mana hadis yang shahih dan mana hadis yang dha’if. Maka pengkajian seperti yang telah disebutkan di atas dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan ilmu-ilmu baru serta sebagai penunjang pemahaman terhadap hadis Nabi.
Hadis dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Faktanya hadis tidaklah langsung disampaikan dari Nabi langsung kepada periwayat hadis tersebut, karena mereka hidup di era yang berbeda. Akan tetapi, hadis sampai kepada periwayat hadis melalui banyak cara yang dinamakan tahamul wal ada’ dan banyak perantara. Mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’uttabiin, syaikh dan akhirnya sampai pada  periwayat.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Riwayat
Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al- Bukhori dan shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang di namai dengan riwayat al-hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau periwayatan. Sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[1]
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut apabila menghilangkan kata-kata atau menambahkan atau kata-katanya sendiri, sehingga tereproduksilah hadist-hadist yang hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut.[2]
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan periwayatan hadis”[3]
Dan adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun mempunyai makna yang sama, yaitu adapun yang dimaksud Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.[4]
B.     Macam-Macam Periwayatan
1.      Riwayat Aqran dan Mudabbaj
Aqran artinya orang-orang yang sebanding, atau orang-orang setara.Menurut pembicaraan ilm hadis, riwayat aqran itu, boleh dikatakan: satu hadis yang seorang rawi terima dari seorang rawi lain , sedang kedua-duanya bersamaan (hamper bersamaan) tentang umur, dan tentang menerima dari syaikh-syaikh.
Tegasnya: dua orang rawi atau lebih, bersamaan atau hamper bersamaan tentang ‘umur , dan tentang menerima dari syaikh-syaikh. Kedua rawi ini mwriwayatkan dari seorang syaikh, tetapi ada hadis yang si rawi pertama terima dari rawi kedua, jadi ia tidak menerima dari syaikhnya.[5]
Guna atau faedah mengetahui riwayat Aqran ini adalah: Supaya tidak dianggap salah kalau tampak bahwa seolah-olahseorang rawi dalam sanad itu kelebihan. Supaya lafadz حدثنا atau عن , dan sebagainya yang ada dalam sanad itu, tidak dianggap keliru, sehingga dianggap mestinya و = dan, umpamanya.
Mudabbaj artinya yang dihiasi, yang digubah, atau yang dibaguskan. Mudabbaj yang jadi pembicaraan ulama-ulama ialah: Satu hadis diriwayatkan oleh seorang rawi dari rawi lain yang setara dengannya, sedang yang setara ini pula pernah meriwayatkan dari rawi pertama itu. Hadis mudabbaj ada yang berderajat shahih , ada yang hasan da nada juga yang dla’if.[6]
Riwayat mudabbaj ini kadang-kadang terjadi antara sahabat, seperti ‘Aisyah dengan Abu Hurairah yang masing-masing sama meriwayatkan dari pihak lain. Dan terkadang terjadi antara tabi’in, seperti periwayatan Atha’ bin Abi Ribbah dari Az Zuhri dan sebaliknya.[7]
Contohnya Abu Bakar meriwayatkan dari Umar dan sebaliknya, juga seperti ‘Atha’ meriwayatkan dari Az Zuhri dan sebaliknya, juga seperti Umar ibnu Abdul ‘Aziz meriwayatkan dari malik dan Al Auza’y dan sebaliknya. Ahmad ibnu Hambal meriwayatkan dari ‘Alie ibnul Madini dan sebaliknya.[8]
2.      Riwayat Al-Kabir ‘Ani Al-Shaghir
Riwayat ini biasa disebut dengan riwayat al-kabir ‘ani al-shaghir. Kabir artinya yang besar, orang besar, yang kedudukannya tinggi. ‘An artinya dari. Shaghir artinya yang kecil, orang kecil, yang rendah. Jadi secara bahasa diartikan riwayat orang besar dari oaring kecil. Orang besar yang dimaksud adalah besar disbanding orang yang dibawah mereka tentan umur, thabaqah, derajat, kedudukan, dan sebagainya. [9]
Kadang-kadang seorang perawi yang lebih tinggi derajatnya atau lebih tua umurnya meriwayatkan hadis dari seorang yang lebih rendah atau lebih muda. Karena itu, faedah mengetahui ilmu ini adalah agar seorang terhindar dari memahami bahwa dalam sanad tersebut terjadi ketrbalikan atau menduga bahwa si perawi lebih rendah daripada perwi sebelumnya,karena biasanya rawi yang menyampaikan hadis lebih tinggi derajatnya atau lebih tua umurnya daripada rawi yang menerima.[10] Seperti contoh, riwayat shahabat dari tabi’in (Ibn ‘Abbas dari Ka’ab al-Akhbar), tabi’in dari tabi’at tabi’in (Az-Zuhri dari Malik).
3.      Riwayat Shahabat dari Tabi’in dari Shahabat
Riwayat seorang shahabi dari seorang tabi’in dari seseorang shahabi yang lain. Seperti Abu Hurairah menerima hadis dari Ka’bil Ahbar yang menerima dari Ibnu Abbas. Riwayat ini sangat sedikit jumlahnya. Sebagian ahli hadis mengatakan bahwa shahabat itu hanya menerima dari tabi’in, berupa riwayat Israiliyyah dan hadis –hadis mauquf saja.[11] Seperti contoh ,riwayat Sahal ibn Sa’ad (sahabat) yang menerima hadist dari Marwan ibn Hakam (tabi’in) yang menerima hadist dari Zaid ibn Tsabit (Sahabat).
4.      As-Sabiq wa Al-Lahiq
Menurut bahasa: as-Sabiq merupakan isim fa’il dari kata as-Sabqu, yang berarti terdahulu. Sedangkan al-Lahiq berupakan isim fa’il dari kata al-lahaq, yang artinya yang terakhir. Yang dimaksudkan adalah rawi yang terdahulu meninggal, dan rawi yang terakhir juga meninggal.
Sedangkan menurut istilah, yaitu:
اسابق واللاحق هو ان يشترك فى الرواية عن الراوى راويان. احدهما متقدم الوفاة والاخر متاخر فى الوفاة بينهما امد بعيد.
Riwayatus-Sabiq dan Riwayatu’l-Lahiq adalah dua orang rowi yang sama-sama meriwayatkan hadist dari seorang guru kemudian salah seorang dari mereka meninggal lebih dahulu dengan selang waktu cukup jauh.
Maka riwayat yang disampaikan oleh rowi yang meninggal mendahului kawanya itu disebut dengan riwayatus-sabiq, sedangkan riwayat yang disampaikan oleh orang yang terakhir meninggalnya disebut riwayatul-lahiq.[12]
5.      Muttafiq wa Al-Muftariq
Al-Muttafiq secara etimologi berarti yang cocok, yang sama, sedangkan al-Muftariq berarti yang berlainan. Al-muttafiq wal al-muftariq ialah satu nama, nasab, dan sebagainya yang dipakai oleh lebih seorang perawi.[13] Dengan kata lain, mereka sama dalam nama, tetapi merupakan orang yang berbeda.
Adapun jika persesuaian antara rawi yang satu dengan yang lain itu mengenai nama asli, nama samaran, keturunan atau lain sebagainya dalam ucapan dan bentuk tulisannya, tetapi berlainan orangnya yang dimaksud dengan nama tersebut, maka disebut dengan al-Muttafiq dan sebagai lawannya disebut dengan al-Muftariq.
Abu Amr bin al-Shalah membagi al-muttafiq wal al-muftariq ini menjadi beberapa bagian. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a         Para rawi yang nama mereka dan nama bapaknya sama, seperti Annas bin Malik. Nama yang demikian disandang oleh sepuluh orang. Lima diantaranya adalah periwayatan hadits, pertama , pelayan Nabi saw. Kedua, Ka’bi Qusyairi yang meriwayatkan satu buah hadits. Ketiga, ayah Imam Malik. Keempat, Himsyi, dan yang terakhir Kufi.
b        Para rawi yang nama mereka, nama bapak, dan nama kakek mereka sama seperti Ahmad bin Ja’far bin Hamdan. Nama yang demikian disandang oleh empat orang: al-Qothi’i yang meriwayatkan Musnad Ahmad, al-Bashri, al-Dinauri, dan al-Tharasusi.
c         Para rawi yang kunyah dan nisbat mereka sama, seperti Abu Imran al-Jauni. Nama yang demikian disandang oleh dua orang, yaitu Abdul Malik bin Habib al-Tabi’i dan Musa bin Sahl al-Bashri. Beliau pernah tinggal di Baghdad.
d        Para rawi yang memiliki kesamaan dalam nisbat saja. Contoh al-Amuli dan al-Amuli. Yang pertama adalah nisbat kepada Amul di Thabaristan, sedangkan yang kedua adalah nisbat kepada Amul di Jaihun. Abu Sa’d al-Sam’ani berkata, “Kebanyakan ahli ilmu berasal dari Amul Thabaristan”. Para ulama yang dinisbatkan kepada Thabaristan kemudian dikenal dengan nisbat kepada Amul Jaihun adalah Abdullah bin Hammad al-Amuli, guru al-Bukhari.[14]



6.      Al-Mu’talif wa Al-Mukhtalif
Al-Mu’talif secara etimologi artinya yang berkumpul, sedangkan al-Mukhtalif artinya yang berselisihan.[15] Al-Mu’talif wa al-Mukhtalif adalah nama atau nisbat yang tulisannya serupa tetapi bacaannya berbeda.
jikalau nama rawi, kuniyah, laqab dan lain sebagainya itu sama pada bentuk tulisannya (khat) saja, sedang pada lafadz (ucapannya) tidak, maka hadits yang sanadnya demikian itu, disebut hadits al-Mu’talif, dan sebagai lawannya disebut hadits al-Mukhtalif.
Misalnya seorang rawi yang bernama Sallam (dengan huruf L rangkap) adalah nama yang paling popular. Adapun kalau dibaca takhfif (L nya tidak rangkap) maka kadang-kadang yang dimaksud ialah Salam, kakek Abi ‘Ali Jubai, dan kadang-kadang Salam bin Misykam al-Yahudy. Contoh lain Al-Adzra’I dengan dzal, yaitu Ishaq bin Ibrahim al-Adzra’I, dan al-Adra’I dengan dal, adalah nisbat yang disandang oleh sekelompok jamaah pada al-Adra’, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ubaidillah, salah seorang pemuka Ahli Bait yang membunuh singa yang memakai baju perang. Karenanya ia diberi nama Adra.



BAB III
PENUTUP
Simpulan
 periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Berikut ini Macam-Macam Periwayatan:
1.      Riwayat Aqran dan Mudabbaj
2.      Riwayat Al-Kabir ‘Ani Al-Shaghir
3.      Riwayat Shahabat dari Tabi’in dari Shahabat
4.      As-Sabiq wa Al-Lahiq
5.      Muttafiq wa Al-Muftariq
6.      Al-Mu’talif wa Al-Mukhtalif



DAFTAR PUSTAKA
A. Qadir hasan, 2007, Ilmu Mushthalah Hadis Bandung: Diponegoro

Fatchur Rahman, 1974. Ikhtisar Musthalah Hadis Bandung: Al Ma’arif.

G. H. A . Juynboll, 1999. Kontroversi  Hadis di Mesir Cet. 1; Bandung: Mizan Anggota IKAPI

Hasbi As-Siddiqi, 1987. Pokok-pokok Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang.

M. Syuhudi Ismail, 1995, Kaedah Kesahihan Hadis Cet. 2; Jakarta: PT Bulan Bintang,

Nuruddin’Itr, 2012. Ulumul Hadis Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Sa’dullah Assa’idi, 1996. Hadis-Hadis Sekte, Cet. I; Yogyakarta : Pustaka  Pelajar.



[1] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis ( Cet. 2; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 23.
[2] G. H. A . Juynboll, Kontroversi  Hadis di Mesir (Cet. 1; Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1999), h. 16
[3] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis..
[4] Sa’dullah Assa’idi, Hadis-Hadis Sekte, (Cet. I; Yogyakarta : Pustaka  Pelajar, 1996), h. 37.
[5] A. Qadir hasan, Ilmu Mushthalah Hadis (Bandung: Diponegoro, 2007), h.314
[6] Ibid., h.316
[7] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah Hadis ( Bandung: Al Ma’arif, 1974),h. 266.
[8] Hasbi As-Siddiqi, Pokok-pokok Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.112
[9] A. Qadir hasan, Ilmu Mushthalah Hadis., h. 340.
[10] uruddin’Itr, Ulumul Hadis (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2012), 147.
[11] Hasbi As-Siddiqi, Pokok-pokok Dirayah Hadis, h. 111
[12] Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 149
[13] A. Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits. h. 318.
[14] Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo.h. 171.
[15] A.Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits.h. 322.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pengertian An-Nahyu, sighat-shigat An-Nahyu, kaidah-kaidah An-Nahyu

MAKALAH RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN(RPP)

Sistem pendidikan Islam di Indonesia