pengertian An-Nahyu, sighat-shigat An-Nahyu, kaidah-kaidah An-Nahyu


TUGAS TERSTRUKTUR

DOSEN PENGAMPU
Ushul Fiqh


Jamal Syarif M.Ag

النهي
 
Oleh:
Rustam Efendi                      [1501211450]
Rahmani                                [1501211453]
Roni Rahmani                       [1501211456]
Syahpur rijali            [1501211459]
Yusron Prayogi                     [1501211462]
Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Pendidikan Agama Islam
Banjarmasin
201
6


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mempelajari ilmu ushul fiqh sangat penting bagi kita,karena hal itu untuk memahami syari’at Islam,para ulama ushul fiqh mengemukakan dua pendekatan,yaitu selain melalui pendekatan maqashid syari’at (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum) juga melalui kaidah-kaidah kebahasaan. Diantara kaidah kebahasaan yang digunakan untuk menetapkan dan menerangkan hukum-hukum syari’at adalah amr dan nahi.Sebab kebanyakan hukum-hukum syari’at yang taklif ditetapkan atas adanya tututan untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau tuntutan untuk meninggalkannya.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang nahi sebagai salah satu kaidah kebahasaan untuk menetapkan dan menerangkan tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian nahi?
2.      Apa saja makna nahi?
3.      Apa saja shigat-shigat nahi?
4.      Apa saja qaedah-qaedah nahi?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetaui pengertian nahi
2.      Untuk mengetahui makna nahi
3.      Untuk mengetaui shigat-shigat nahi
4.      Untuk mengetahui qaedah-qaedah nahi




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nahi
Secara etimologi, al-Nahi  berasal dari bahasa arab (النهي ) yang artinya mencegah atau melarang.
Adapun menurut syara’ ialah:   طلب الترك من الاعلى الى الادنى  “Memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”
Menurut ulama ushul, definisi nahy adalah kebalikan dari amr, yakni lafaz yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan.[1]
B.     Shighat al-Nahi
Shighat al-Nahi merupakan tuntutan yang berisi larangan, maka bagian ini akan diuraikan berbagai macam shighat al-Nahi.Adapun bentuk shighat al-Nahi itu adalah:
1.      Fi’il Mudhari’ yang dihubungkan dengan لا ناهيه yaitu yang menunjukkan larangan atau menyatakan tidak boleh melakukan perbuatan.sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 152:
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ
 “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
2.      Kata yang berbentuk perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan.Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Hajj:30
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ  
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”(Q.S.al-Hajj:30)
3.      Menggunakan kata (نهي) itu sendiri dalam kalimat.sebagaimana dalam firman Allah
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ.
 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS.al-Nahl: 90)
4.      Jumlah Khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”( Q.S. an-Nisa’ : 19)
Dari keempat macam bentuk yang telah disebutkan di atas, merupakan shighat al-Nahi yang dapat digolongkan kepada larangan.Akan tetapi, menurut Mustafa Said al-Khin,bahwa shighat al-Nahi yang sebenarnya adalah fi’il mudhari’, yang dimasuki atau yang dihubungkan dengan ( لاناهيه).
Pada dasarnya,terdapat keempat shighat al-Nahi yang telah disebutkan di atas tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqih.[2]
C.    Macam-macam Makna Nahi
Nahi pada dasarnya ialah untuk menunjukkan haram, tetapi dalam pemakaian bahasa arab, kadang-kadang bentuk nahi di gunakan untuk beberapa arti(maksud) yang bukan asli, yang maksudnya dapat di ketahui dari susunan perkataan itu, yang antara lain:
a.      Untuk menunjukkan makruh  للكراهة
لا تصلوا في اعطان الابل
Artinya: “janganlah mengerjakan shalat di tempat peristirahatan unta” (H.R. Ahmad dan Turmidzi).
Larangan dalam hadits tersebut di atas untuk menunjukkan makruh, karena kurang bersih, walaupun suci.
b.      Untuk do’a  للدعاء
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Artinya: “Ya Tuhan kami! janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.”(QS. Al-Baqarah: 386)
Perkataan “janganlah engkau hukum kami....” bukan menunjukkan larangan, sebab manusia tidak berhak melarang Tuhan, karena manusia di bawah kekuasaan-Nya, tetapi perkataan itu menunjukkan permohonan sebagai do’a kepada Allah SWT.
c.       Untuk memberikan pelajaran للارشاد
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya: “jangan lah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal yang jika di terangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu” (QS. Al-maidah: 101).
Larangan ini sebagai pelajaran, agar kita jangan selalu menanyakan sesuatu yang akan merugikan diri kita sendiri, terutama hal-hal yang  menyangkut perhubungan antar manusia.
d.      Untuk memutus-asakan للتيئيس
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ  
Artinya: “janganlah engkau membela diri pada hari ini (hari kiamat)” (QS. At-Tahrim: 07)
Untuk memutus-asakan mereka, bahwa pada hari kiamat tidak ada gunanya lagi mengadakan pembelaan; tidak dapat di harapkan lagi untuk memperoleh ampunan karena pada hari kiamat pintu taubat sudah di tutup.
e.       Untuk menghibur   للائتناس
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
Artinya: “janganlah engkau berduka (karena) sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)
Sewaktu Nabi Muhammad SAW. bersama sahabat beliau Abu Bakar bersembunyi di gua Tsaur, datang kaum kafir Quraisy hingga Abu Bakar takut, kemudian Nabi SAW. menghiburnya, “janganlah engkau bersusah (khawatir) karena Allah bersama kita”.
f.       Untuk ancaman  للتهديد
Ucapan majikan kepada pelayan:
لا تطع امري
Artinya:"  tak usah engkau turuti perintah ini”
Yang dimaksud bukan melarang, tetapi menggertak kepadanya agar iya takut.[3]
D.    Qaidah-qaidah an-nahyu
§  Nahi menunjukkan kepada haram
اَلْاَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
“Asal pada larangan untuk haram”
Menurut kepada pemikiran tiap-tiap masalah yang sunyi daripada qarenah yang menunjukkan kepada larangan mengandung akan arti yang hakiki yaitu haram.
Contohnya: seperti firman Allah SWT:
وَلَاتَقْرَبُوا الزِّنَى
“Dan janganlah kamu dekati zina”.
Dalam ayat ini terdapat bentuk kalimat larangan yang sunyi dari qarenah, menunjukkan kepada haqiqat larangan yang mutlak. Dan jika kalimat itu mempunyai qarenah, tidak menunjukkan haqiqat larangan, seperti firman Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk” (QS. An-Nisa: 43)
§  Nahi menunjukkan larangan sesuatu, suruhan bagi lawannya
اَلنَّهْيُ عَنِ الشَّىْءِ اَمْرٌ بِضِدِّهِ
“Dilarang dari sesuatu, disuruh dengan lawannya”
Contohnya: dilarang meninggalkan sembahyang, tentu disuruh mengerjakannya.
Jika dilarang mengerjakan suatu perbuatan, perbuatan mana kalau dikerjakan dihukum menutut hakikatnya (haram), mesti disuruh menghentikannya, seperti dilarang meninggalkan sembahyang, tentu di suruh mengerjakannya. 
§  Nahi menunjukkan larangan yang mutlak
اَلنَّهْيُ اْلُمطْلَقُ يَقْتَضِى الدَّوَامَ فِى جَمِيْعِ اْلاَزْمِنَةِ
“Larangan yang mutlak menghendaki berbekalan dalam sepanjang masa”
Dalam suatu larangan yang berbentuk mutlak, baik membawa kebinasaaan maupun menjauhinya, baru mencapai hasil yang sempurna, apabila di jauhi yang membinasakan itu selama-lamanya.seperti: perkataan seorang bapak kepada anaknya ‘jangan kamu dekati singa’, maka anak itu disuruh menjauhi binatang tersebut selama-lamanya karena untuk melepaskan diri dari kebinasaan.
§  Nahi menunjukkan larangan dalam beribadah
اَلنَّهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ اْلُمنْهِيِّ عَنْهُ فِى عِبَادَاتِ
“Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah”
Untuk mengetahui mana yang sah dan mana yang batal dalam urusan ibadat, haruslah ia mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Kalau seorang umpamanya mengerjakan apa yang di larang, berarti ia melanggar apa yang diperintahkan. Orang yang melanggar perintah masih dituntut untuk mengerjakannya, jika masih dituntut mengerjakannya berarti dia belum bebas dari suatu perbuatan, oleh sebab itu harus mengulangi ibadatnya misalnya: wanita yang sedang haidh dilarang mengerjakan shalat dan puasa, berarti dituntut untuk mengerjakannya apabila telah suci.
§  Nahi menunjukkan larangan dalam mu’amalah
اَلنَّهْىُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ اْلُمنْهِيِّ عَنْهُ فِى اْلعُقُوْدِ
“Larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber’akad”
Apabila larangan itu kembali kepada aqad itu sendiri bukan kepada yang lain, seperti: dilarang menjual anak hewan yang masih di dalam kandungan ibunya, berarti akad jual beli tidak sah (batal), karena yang diperjualbelikan itu belum jelas dan belum memenuhi rukun jual beli, antara lain:
a)      adanya dua orang yang berakad (penjual & pembeli),
b)      sighat (lafadz) jual beli dan
c)      ada barang yang diperjual belikan.
Rasulullah SAW bersabda:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اْلَملَاقِيْحِ
“Melarang Nabi SAW memperjualbelikan anak dalam kandungan ibunya”.
Adakalanya larangan itu tidak membatalkan jula beli, seperti jual beli waktu panggilan shalat Jum’at, karena melalaikan untuk besegera mengerjakan shalat Jum’at. Firman Allah SWT:
اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ اْلجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا اْلبَيْعَ
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat Jum’at pada hari Jum’at, hendaklah bersegera mengingat Allah (pergi shalat Jum’at) dan tinggalkan jual beli”.[4]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ø  Secara etimologi, al-Nahi  berasal dari bahasa arab (النهي ) yang artinya mencegah atau melarang.
Adapun menurut syara’ ialah:   طلب الترك من الاعلى الى الادنى  “Memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”
Ø  Sigat-sigat nahi:
§  Fi’il Mudhari’ yang dihubungkan dengan لا ناهيه yaitu yang menunjukkan larangan atau menyatakan tidak boleh melakukan perbuatan.
§  Kata yang berbentuk perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan.
§  Menggunakan kata (نهي) itu sendiri dalam kalimat
§  Jumlah Khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu.
Ø  Makna Nahi:
§  Untuk menunjukkan makruh  للكراهة
§  Untuk do’a  للدعاء
§  Untuk memberikan pelajaran للارشاد
§  Untuk memutus-asakan للتيئيس
§  Untuk ancaman  للتهديد
§  Untuk menghibur   للائتناس
Ø  Qaidah-qaidah nahi:
§  Nahi menunjukkan kepada haram
§  Nahi menunjukkan larangan sesuatu, suruhan bagi lawannya
§  Nahi menunjukkan larangan yang mutlak
§  Nahi menunjukkan larangan dalam beribadah
§  Nahi menunjukkan larangan dalam mu’amalah




DAFTAR PUSTAKA

Syafi’I, Rahmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung.
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul.Jakarta: Gaya Media Pratama.
Moh Rifa’i, 1994, Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Nazar Bakri, 1993, Fiqh Dan Ushul Fiqh , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.




[1] Syafi’I, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih. (Pustaka Setia: Bandung. 1999), hal 207
[2] Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul.(Jakarta: Gaya Media Pratama) hlm. 189-190

[3] Moh Rifa’i, Ushul Fiqih. (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1994) hlm 40-42

[4] Nazar Bakri, Fiqh Dan Ushul Fiqh , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada1993). Hlm.185-188

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN(RPP)

Sistem pendidikan Islam di Indonesia