INTEGRASI INTERKONEKSI KEILMUAN DALAM KAJIAN KEISLAMAN
TUGAS TERSTRUKTUR
|
|
DOSEN PENGAMPU
|
Pengantar studi
islam
|
|
Drs. Wahyudin Ms,I.
|
INTEGRASI
INTERKONEKSI KEILMUAN DALAM KAJIAN KEISLAMAN
Oleh:
Syarief hidayatullah [1501211460]
Taufik [1501211461]
Yusron Prayogi [1501211462]
Institut Agama Islam Negeri Antasari
Banjarmasin
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Pendidikan Agama Islam
Banjarmasin
2016
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Pendidikan Agama Islam
Banjarmasin
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perdebatan tentang dikotomi ilmu agama (khususnya islam) dan
ilmu-ilmu umum (IPTEKS termasuk filsafat) telah muncul dalam kurun waktu yang
cukup panjang, yakni sejak negara-negara di luar islam (barat) sudah mualai
menjadi pinoer dalam IPTEKS dunia dan umat
islam sudah mulai ketinggalan. Sebagian umat islam tidak lagi menganggap IPTEKS
sebagai bagian yang harus dipelajar, dikuasai, dan dimiliki. Mereka lebih concern
dengan ilmu agama yang dianggap sebagai modal dasar untuk menjadi umat
beragama yang benar sekaligus sebagai bekal untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban pokok dalam kehudupan mereka. Kenyataan sekarang
mengindikasikan bahwa dikotomi tersebut benar-benar ada, khususnya sikap dan
prilaku sebagai masyarakat muslim yang terpola, minimal berserangan. Makna
bersebrangan tidak selalu bertentangan.
Sebagai agama terakhir, islam yang diturunkan Allah untuk manusia
sebenarnya dilengkapi dengan seluruh perangkat aturan (hukum,norma,dan etika)
yang mampu menjangkau seluruh manusia dimanapun dan kapanpin. Untuk itu, Allah
menurunkan wahyu sebagai sumber dari segala sumber aturan yang dapat digunakan
manusia dalam mengatur segala urusan dan persoalan. Wahyu yang dimaksud adalah
Al-qur’an yang diturunkan kepada manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Al-qur’an memuat
wahyu yang isinya mencakup keseluruhan isi wahyu yang pernah diturunkan kepada
para nabi sebelum nabi Muhammad Saw. isi Al-qur’an mencakup keseluruhan aspek
kehidupan manusia, mulai dari masalah aqiah (teologis), syariah (normatif), dan
akhlak (etis), hingga masalah-masalah yang terkait dengan masalah-masalah
keduniawian (kealaman) yang kemudian menjadi kajian pokok dari ilmu-ilmu
(IPTEKS).
Dalam bidang ilmu sosial, Al-qur’an dan hadits telah memberikan
dasar-dasar dalam praktik kehidupan politik, ekonomi, dan sosial, meskipun
belum detail. Dasar-dasar ilmu sosial ini dapat di kembangkan melalui pemikiran
dan praktik-praktik kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di berbagai situasi
dan kondisi. Sejak masa Nabi saw. dan masa al-khulafa’ al Rasyidun dasar-dasar
tersebut di praktikan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian menjadi acuan
para ilmuan sosial muslim untuk merumuskan berbagai konsep atau teori tentang
ilmu-ilmu sosial. Ini terlihat dalam tulisan beberapa ilmuan muslim seperti Abu
Yusuf (731-798 Masehi), al-shaibani (750-804 Masehi), al- Mawardi (972-1058
Masehi), al- Raghib al-Ashfani (1108 Masehi), al- Ghazali (1058-1111 Masehi),
Ibnu Taymiyah (1263-1328 Masehi), dan Ibnu Khaldun (1332-1406 Masehi).
Temuan-temuan awal tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan modern
seperti yang dimulai oleh Ibnu sina, Ibnu al-Haitham, dan beberapa ilmuwan
sosial Muslim seperti di atas menunjukan betapa para ilmuan muslim yang
mendasarkan pemikiran mereka pada ayat-ayat suci Al-qur’an dan hadis mampu
menghasilakan pemiran atau konsep-konsep ilmu pengetahuan dan islam
(Al-qur’an), maka pertentangan ini disebabkan leh perbedaan zaman dan
perspektif antara keduanya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian integrasi interkoneksi?
2.
Bagaimana landasan integrasi-interkoneksi ilmu?
3.
Bagaimana kerangka dasar integrasi-interkoneksi ilmu?
4.
Bagaimana sumber nilai sains dan agama?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian integrasi interkoneksi.
2.
Untuk mengetahui landasan integrasi-interkoneksi
3.
Untuk mengetahui kerangka dasar integrasi-interkoneksi ilmu.
4.
Untuk mengetahui sumber nilai sains dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Integrasi-Interkoneksi
Integrasi-interkoneksi merupakan upaya mempertemukan antara ilmu-ilmu agama
(islam) dan ilmu-ilmu umum (sains-teknologi dan sosial-humaniora).
Menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah Pemikiran tentang integrasi atau
Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual
Muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya
dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang- orang
barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap
ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. [1]
Paradigma keilmuan baru yang
menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia
(ilmu-ilmu holistik-integralistik), itu tidak akan berakibat mengecilkan peran
Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya
sendiri, dari masyarakat sekitar, dan lingkungan hidup sekitarnya. Di harapkan konsep
integralisme dan reintegrasi epistimologi keilmuan sekaligus akan dapat
menyelesaikan konflik antar skularisme extrim danfun damentalisnya negatif
aganma-agama yang rugi dan radikan dalam banyak hal.[2]
B.
Landasan Integrasi-Interkoneksi
Ilmu
1. Landasan Teologis
Dapat dikatakan pendidikan Islam selama ini terseret dalam
alam pemikiran modern yang sekuler, sehingga secara tidak sadar memisah-misah
antara pendidikan keimanan (ilmu-ilmu agama) dengan pendidikan umum (ilmu
pengetahuan) dan pendidikan akhlak (etika). Dampaknya adalah terjadi kemunduran
umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan di level apapun.
Pendidikan modern memang mengembangkan disiplin ilmu dengan
spesialisasi secara ketat, sehingga keterpaduan antar disiplin keilmuan mejadi
hilang dan berimplikasi pada terbentukya perbedaan sikap dikalangan umat islam
secara tajam terhadap kedua kelompok ilmu. Ilmu-ilmu agama disikapi dan
diperlakukan sebagai ilmu Allah yang bersifat sacral dan wajib untuk
dipelajari. Sebaliknya, kelompok ilmu umum, baik ilmu kealaman maupun sosial
dianggap ilmu manusia yang dianggap tidak wajib untuk dipelajari. Situasi
seperti ini, membawa akibat ilmu-ilmu agama menjadi tidak menarik karena
terlepas dari kehidupan nyata, sementara ilmu-ilmu umum berkembang tanpa
sentuhan etika dan spiritualitas agama.
2. Landasan Filosofis
Keberadaan beragam disiplin ilmu, baik ilmu agama, ilmu-ilmu
alam maupun humaniora, hakikatnya adalah upaya manusia untuk memahami
kompleksitas dimensi-dimensi hidup manusia tersebut. Setiap disiplin ilmu
mencoba menyelami dimensi tertentu dari hidup manusia. Dari asumsi tersebut,
maka sikap mencukupkan diri dengan hanya salah satu disiplin ilmu saja dapat
dikatakan sikap yang tidak bijaksana.
Maka untuk mengkonstruk satu paradigma keilmuan baru yang
tidak merasa puas hanya dengan mendalami salah satu disiplin keilmuan namun
juga mengkaji berbagai disiplin keilmuan. Bahkan paradigma baru ini bermaksud
merumuskan keterpaduan dan keterkaitan antar disiplin ilmu sebagai jembatan
untuk memahami kompleksitas hidup manusia demi meningkatkan kualitas hidup baik
dalam aspek material, moral maupun spiritual.
Berfikir secara filosofis ini juga dapat digunakan
dalam memahami ajaran, dengan maksud
agar hikmah, hakikat atu inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan di pahami
secara seksama.[3]
Melalui landasan filosofis ini, seorang tidak akan terjebak
pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan
susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka
dapatkan dari pengamalan tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya
sudah haji, sudah menunaikan rukun islam yang ke lima, dan berhenti sampai disitu.
Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.[4]
3. Landasan Kultural
Ilmu
pengetahuan baik ilmu alam maupun sosial bersifat universal walaupun berkembang
dalam konteks budaya barat. Pendidikan Islam di Indonesia berhadapan dengan
persoalan kesenjangan budaya, yakni kesenjangan antara budaya lokal Indonesia
dan budaya global agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, proses
pendidikan tidak mungkin mengabaikan budaya lokal sebagai basis kultural, baik
dalam menerjemahkan Islam maupun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
4. Landasan Sosiologis
Secara sosiologis masyarakat Indonesia terdiri dari beragam
suku bangsa, budaya dan agama. Keragaman ini sering kali melahirkan berbagai
konflik yang mengancam integrasi bangsa. Secara teologis-normatif tidak ada
agama maupun budaya manapun yang membenarkan perilaku agresif terhadap orang
lain, bahkan menekankan hidup rukun dan damai. Akan tetapi kerukunan dan
kedamaian yang didambakan terancam oleh pandangan yang selalu merasa paling
benar (truth claim) yang pada gilirannya memunculkan prasangka-prasangka sosial
terhadap kelompok lain.[5]
Sosiologi juga dapat di gunakan sebagai salah satu
pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti karena banyak
kajian agama yang baru dapat di pahami secara proposional dan tepat apabila
mengunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi.[6]
C. Kerangka
Dasar Integrasi-Interkoneksi Ilmu
Pada dasarnya, Islam mengembangkan ilmu yang bersifat
universal dan tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama, ilmu sosial-humaniora
dan ilmu alam. Suatu ilmu secara epistimologis dikatakan sebagai ilmu keislaman
ketika ilmu tersebut sesuai dengan nilai dan etika islam. Ilmu yang berangkat
dari nilai dan etika islam pada dasarnya bersifat objektif. Dengan demikian
dalam islam terjadi proses objektifitas, tidak membedakan golongan, etnis
maupun suku bangsa.
Ilmu yang terintegrasi-interkoneksi mempelajari ilmu agama,
ilmu sosial-humaniora dan ilmu sains secara parsial. Dengan demikian seluruh
bidang keilmuan itu dapat dikatakan sebagai ilmu keislaman secara ontologis,
epistimologis dan aksiologis. Hal inilah yang membedakan ilmu keislaman dengan
ilmu sekuler.
Dalam
kajian ilmu keislaman, Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai kajian utama. Ilmu pada
lapisan ke dua dan seterusnya, satu sama lain saling berinteraksi, saling
memperbincangkan, dan saling menghargai atau mempertimbangkan secara sensitif
terhadap kehadiran ilmu lainnya
Meskipun
al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sentralnya, namun cara memperoleh kebenaran
tidak hanya dari al-Quran dan al-Sunah, tetapi dibutuhakn ilmu pengetahuan lain
(ilmu sosial-humaniora dan ilmu sains). Harapannya adalah ilmu-ilmu tersebut
tidak terisolasi, tidak bersifat myopik, tetapi bersifat luas dan komprehensif.
Pendekatan
integratif adalah terpadunya kebenaran wahyu dalam bentuk pembilangan ilmu yang
terkait dengan sumber kebenaran dengan bukti-bukti yang ditemukan di alam
semesta. Walaupun dilakukan pembidangan, tetapi masing-masing bidang ilmu
saling terintegrasi. Dikatakan terintegrasi bukan berarti mengalami peleburan
menjadi satu bentuk ilmu yang identik, melainkan terpadunya karakter, corak,
dan hakikat ilmu tersebut dalam semua kesatuan dimensinya.
Menurut
Kuntowijoyo, dalam bukunya Islam sebagai Ilmu, ilmu integralistik adalah ilmu yang
menyatuakan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran
manusia diharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik
antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.
Pendekatan
interkonektif adalah terkaitnya suatu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain
melalui satu hubungan yang saling mempertimbangkan. Bidang ilmu yang yang
berkarakteristik integratif sudah tentu memiliki interkoneksi antarbagian
keilmuannya. Sebaliknya, karena tidak semua bidang ilmu dapat diintegrasikan,
maka paling tidak masing-masing ilmu memiliki kepekaan akan perlunya
interkoneksi untuk menutup kekurangan yang melekat dalam dirinya sendiri jika
berdiri sendiri.
D. Sumber
Nilai Sains Dan Agama
Disebutkan
dalam salah satu hadits Nabi:
تركت فيكم امرين لن
تضل ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه.
Artinya: “telah aku (Muhammad)
tinggalkan dua perkara, jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian
tidak akan tersesat: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR. Malik bin Anas).
Pesan Hadits di atas jelas dan tegas bahwa bila berpegang pada Al-Qur’an dan
hadits akan terhindar dari kesesatan.
Al-Qur’an
merupakan sumber nilai yang absolut, yang eksistensinya tidak mengalami
perubahan walaupun interpretasinya dimungkinkan mengalami perubahan sesuai
dengan konteks zaman, keadaan, dan tempat. Sumber nilai absolut dalam Al-Qur’an
adalah nilai Ilahi dan tugas manusia untuk menginterpretasikan nilai-nilai itu.
Dengan interpretasi tersebut, manusia akan mampu menghadapi ajaran agama yang
dianut. Lebih lanjut ia mengatakan konseptualisasi pendidikan Islami bertolak
dari “bahwa telah Aku (Allah) sempurnakan agamamu” maka nash adalah sumber
kebenaran, kebajikan dan rahmat bagi umat manusia.
Menurut
Abdurrahman Saleh Abdullah, Al-Qur’an itu memang diperuntukkan bagi umat
manusia dan eksistensi pandangan Al-Qur’an senantiasa mengacu kepada dunia ini
yang porsinya sama dengan kehidupan akhirat. Secara garis besar tujuan pokok
diturunkannya Al-Qur’an adalah:
1) sebagai
petunjuk akidah
2)
petunjuk syari’ah
3)
petunjuk akhlak.
Bahkan
Al-Qur’an mengilhami tiga pokok aspek ilmu pengetahuan, yaitu
1) aspek
etik termasuk aspek-aspek perseptual dalam ilmu pengetahuan
2) aspek
historik dan psikologis
3)
aspek observatif dan eksperimental.
Kemudian
masing-masing aspek tersebut berkaitan dengan hal yang lain, seperti aspek etik
berkaitan dengan prinsip dasar keyakinan, perbuatan, moralitas, baik perorangan
maupun kemasyarakatan serta pandangan menuju kehidupan terbaik di dunia dan di
akhirat. Aspek-aspek psikologik dan historik berkaitan dengan berbagai sikap
dan cara berpikir manusia dan bangsa terkait atau menyimpang dari warna agama,
sedangkan aspek observatif dan eksperimental sebagai sumber utama untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tentang benda-benda yang berhubungan dengan
penciptanya. Titik temu dari ketiga aspek ilmu pengetahuan yang diilhami oleh
Al-Qur’an terfokus pada prinsip tauhid yang merupakan faktor yang berperan
dalam kehidupan intelektual dan emosional manusia. Tauhid merupakan landasan
spiritual Islam tertinggi dan termasuk di dalamnya pendidikan Agama Islam.
E.
Dimensi sosial agama dan sains
Stenmark menjadikan demensi sosial sebagai basis membangun
relasi agama dan sains. Sains bukan sekedar perangkat teori dan agama bukan
sekedar perangkat kepercayaan. Karena keduanya hanya merupakan bagian dari
agama dan sains yang tidak akan menggambarkan kuduanya secara utuh jika ia
dilepaskan dari demensi sosialnya.[7]
F.
Humaniora Dalam Al-Qur’an
Adanya humaniora yang berbeda dengan sciences itu dapat kita
pelajari dalam Al-Qur’an. Satu ayat Allah mengisyaratkan adanya dua kategori
yang berbeda, yaitu ilmu mengenai cakrawala (الْآفَاقِ)
dan ilmu mengenai diri manusia (أَنْفُسِهِمْ).
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ
يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri
mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.
Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat: 53)
Jadi,
menurut Al-Qur’an pun ilmu itu bukan hanya dua macam, kauniyah
(ilmu-ilmu alam, nomothecik) dan qualiyah (ilmu-ilmu Qur’an, theological),
seperti yang kita sangka selama ini, akan tetapi tiga macam. Katakan yang
ketiga itu ialah ilmu nafsiah. Kalau ‘ilm kauniyah berkenaan dengan
hukum alam, ‘ilm qauliyah berkenaan dengan hukum tuhan, dan ‘ilm nafsiyah berkenaan
dengan makna, nilai dan kesadaran.ilmu nafsiyah inilah yang kita sebut
sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutical),
meskipun dalam bahasa Arab ilmu nafsiyah ialah psikologi.[8]
BAB
III
Penutup
A.
Kesimpilan
Ø Landasan integrasi interkoneksi ilmu antara lain landasan teologis,
landasan filosofis, landasan kultural, landasan sosiologis, dan landasan
psikologi.
Ø kerangka dasar integrasi
interkoneksi ilmu dalam kajian ilmu keislaman, Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai
kajian utama. Ilmu pada lapisan ke dua dan seterusnya, satu sama lain saling
berinteraksi, saling memperbincangkan, dan saling menghargai atau
mempertimbangkan secara sensitif terhadap kehadiran ilmu lainnya.
Ø Sumber utama nilai sains dan agama adalah Al-Qur’an dan Hadits.
Ø menurut Al-Qur’an ilmu itu tiga
macam:
Ø kauniyah (ilmu-ilmu alam, nomothecik)
berkenaan dengan hukum alam.
Ø qualiyah (ilmu-ilmu Qur’an, theological)
berkenaan dengan hukum tuhan.
Ø nafsiyah inilah yang kita
sebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutical).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihun,
Pengantar studi islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
Amin Abdullah
M., Iislamic Studeies Di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Kuntowijoyo, Islam SebagaiIilmu,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006
Nata Abuddin, MetodologiStudi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008.
[2] Prof. Dr. M. Amin
Abdullah, Iislamic Studeies Di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010) hal 104-105
[4] Ibid., 45
[6] Prof. Dr.
Rosihun anwar, Pengantar studi islam, (bandung: CV Pustaka setia, 2009) hlm 48
[7] ch. Maimun syamsyuddin, integrasi muntidemensi
agama& sains, (Jogjakarta: IRCisoD, 2012) hlm 137
[8] Kuntowijoyo, Islam SebagaiIilmu,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006) hlm 25-26
Komentar
Posting Komentar