Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat Islam memiliki dua landasan utama yaitu Al-Quran dan Hadits
(Sunnah) sebagai pedoman hidup di dunia. Al-Qur’an yang notaben kalam
Allah, telah dijamin kemurnian dan keabsahannya. Yakni
Al-Qur’an shahi likulli zamanin wamakan karena Al-qur’an diturunkan
secara mutawatir. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul tidak semuanya
berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua hadits
bisa diterima, karena belum tentu setiap hadtis
itu berasal dari Rasulullah. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan
dengan hadits atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul Hadits. Dari
berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits,
ada satu ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian,
yaitu Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui
komentar-komentar para kritikus hadis tentang keadaan setiap perawi, apakah
diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa
ditentukan status dan derajat hadis yang diteliti oleh perawi tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pentingnya kegiatan Jarh wa Ta’dil?
2. Apa kegiatan Jarh wa Ta’dil didalam penelitian
hadits?
3. Apa saja syarat-syarat bagi yang melakukan
kegiatan Jarh wa Ta’dil?
4. Apa saja lafadz-lafadz Jarh wa Ta’dil?
5. Apa saja segi-segi Rijalul Hadits yang menjadi
sasaran Jarh wa Ta’dil?
6. Apa saja sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat ulama tentang kualitas pribadi dan kapasitas intelektual periwayat?
C. Tujuan
Penulisan
Dari beberapa
rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalahini ialah untuk Mengetahui
pentingnya kegiatan Jarh wa Ta’dil.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Kata Al-Jarh (الجرح)
merupakan bentuk dari kata Jaraha-Yajrahu (جرح - يجرح)
atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang
berarti cacat atau luka, atau
seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[1] Istilah
cacat ini digunakan untuk menunjukkan sifat jelek yang melekat pada periwayat
hadiits seperti pelupa, pembohong dan lain sebagainy.
Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل)
merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu(عدل - يعدل) yang
berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan.[2] Dengan
demikian, ilmu Al-Jarh wa Ta’dil secara etimologis berarti
ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadits.
Secara terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib
mendefinisikan Al-Jarh sebagai berikut:
ظهور وصف في
الراوي يثلم عدالته او يخل بحفطه و ضبته مما يتر تب عليه سقوط روايته او ضعفه و ردها
“Nampaknya suatu sifat pada
seorang perawi yang dapat merusak nilai keadilannya atau melamahkan
nilai hafalan dan ingatan, yang karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya
atau ia dipandang lemah dan tertolak”.[3]
Dalam definisi lain terminologi ilmu hadits, al-Jarh
berarti menunjukkan sifat-sifat tercela bagi seorang perawi, sehingga merusak
atau mencacatkan kecacatan dan kedhabitannya.
Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kajian ‘Ilmu Jarh wa
Ta’dil terfokus pada penelitian terhadap perawi hadis, sehingga
diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang mempunyai sifat-sifat
keadilan atau kedhabit-an dan yang tidak memilikinya. Dengan tidak memiliki
kedua sifat-sifat itu, maka hal tersebut merupakan indicator akan kecacatan
perawi dan secara otomatis periwayatannya tertolak. Sebaliknya bagi perawi yang
memiliki kedua sifat-sifat di atas, secara otomatis pula ia terhindar dari
kecacatan dan berimplikasi bahwa hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima.
Atau
bisa dikatakan Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik
adanya aib (cacat) atau memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi.
B. Pentingnya kegiatan Jarh wa
Ta’dil
Ilmu al-Jarh wa alta’dil sangatlah
penting guna menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau
harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai
seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi
dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya dterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi.
Apabila kita tidak memahami ilmu
al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan seksama, maka akan muncul
penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai sama.
Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah
perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tidak
menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist harus diteliti
secara seksama karena terjadi pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan
lain-lain yang dikaitkan dengan hadist. Akkibatnya, mereka yang menyandarkan
hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal yang diriwayatkannya adalah riwayat
yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk kepentingan golongannya saja.
Jika kita mengetahui benar atau
salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang
benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-Jarh wa
at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist shohih, hasan, maupun
hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.[4]
C. Kegiatan Jarh
Wa Ta’dil Di Dalam Penelitian Hadits
Ilmu Jarh wa Ta’dil dibutuhkan para ulama
hadits karena ilmu ini membantu memisahkan mana informasi yang benar-benar
datang dari Nabi dan mana yang bukan. Menunjukkan cacat periwayat hadits bukan
dimaksudkan untuk menjatuhkan martabat individu, melainkan untuk melindungi
informasi Nabi dari kekeliuran dan kepalsuan. Para ulama sepenuhnya sadar bahwa
menunjukkan aib orang lain itu dilarang oleh agama, tetapi bila al-jarh
(kritik) tidak dilakukan, maka mereka juga sadar akan timbulnya bahaya yang
lebih besar.
Untuk mencela dan memuji periwayat, para ulama
menggunakan kaidah “Global dalam menunjukkan pujian dan rinci dalam menunjukkan
cacat”. Maksudnya, untuk memuji seseorang tidak diperlukan alasan-alasan,
misalnya untuk mengatakan bahwa si fulan itu adil, tidak perlu mengatakan,
“karena ia rajin sholat, tekun puasa, dan lain sebagainya. Sebaliknya, untuk
menunjukkan cacat, diperlukan penjelasan spesifik kecacatannya, misalnya perlu
menyebut si fulan pelupa, fasiq dan sebagainya.
Untuk menggambarkan kecacatan dan keadilan
seorang rawi, ulama menggunakan ungkapan yang bervariasi. Ada yang menggunakan
ungkapan berlebih, seperti “si fulan adalah orang yang terpercaya tiada
taranya”. Ada juga yang menggunakan ungkapan yang biasa saja, misalnya, “si
fulan itu jujur”. Dalam Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, perbedaan ungkapan
menunjukkan perbedaan kualitas masing-masing periwayat. Karena itu, meskipun
sama-sama dinilai ‘adil misalnya, para rawi mempunyai derajat yang berbeda
karena ungkapan ynag digunakan untuk menilainya juga berbeda.[5]
D.
Syarat-Syarat Bagi Yang Melakukan Kegiatan
Jarh Wa Ta’dil
Syarat
Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil, seorang ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya objektif dalam upaya
menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya ialah :
1. Berilmu, bertakwa, wara’ dan jujur. Jika seoarang
ulama tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang
lain dengan al-Jarh wa al-Ta’dil, yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
2. Mengetahui sebab-sebab untuk men-Ta’dil-kan dan
men-Jarh-kan. Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarhal-Nukhbah, bahwa
tazkiyah(pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan
oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak
mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang
kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.
3. Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab Dengan pengetahuan
terhadap penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab.[6]
Ada juga yang
mengatakan Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih)
1. Berilmu pengetahuan
2. Takwa
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan
maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
4. Jujur
5. Menjauhi fanatik glongan
E.
Lafadz-Lafadz Jarh Wa Ta’dil
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk
men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu
Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan,
menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu
Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut: [8]
1.
Tingkatan dan lafadz-lafadz menta’dil rawi
a.
Segala
sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang
mengandung arti sejenis, misalnya:
1)
Orang
yang paling tsiqah (أَوْثَقُ النَّاسْ)
2)
Orang
yang paling mantap hafalan dan keadilannya (أَثْبَتُ
النَّاسِ حِفْظًا وَعَدَالَةً)
3)
Orang
yang paling mantap hafalan dan keadilannya (إِلَيْهِ
الْمُنْتَهَى فِى الثّبت)
4)
Orang
yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah (ثَقَةُ
فَوَقَ الثَّقَةِ)
b.
Memperkuat
ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk
keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan
mengulanginya) maupun semakna, misalnya:
1)
Orang
yang teguh (lagi) teguh (ثُبُتٌ ثُبُتْ)
2)
Orang
yang tsiqah (lagi) tsiqah (ثِقَةٌ ثِقَةْ)
3)
Orang
yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) (حُجَّةٌ حُجَّةْ)
4)
Orang
yang teguh (lagi) tsiqah (ثُبُتٌ ثِقَّةْ)
5)
Orang
yang kuat ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) (حَافِظٌ حُجَّةْ)
6)
Orang
yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya (ضَابِطٌ مُتْقِن).
c.
Menunjuk
keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan, misalnya:
1)
Orang
yang teguh (hati dan lidahnya), (ثُبُتٌ)
2)
Orang
yang meyakinkan (ilmunya), (مُتْقِنٌ)
3)
Orang
yang tsiqah (ثِقَةٌ)
4)
Orang
yang hafidh (kuat hafalannya), (حَافِظٌ)
5)
Orang
yang hujjah (حُجَّةٌ).
d.
Menunjukkan
keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat
ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
1)
Orang
yang sangat jujur (صَدُوْقٌ)
2)
Orang
yang dapat memegang amanat (مَأْمُوْنٌ)
3)
Orang
yang tidak cacat (لَابَأْسَ بِهْ).
e.
Menunjukkan
kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan, misalnya:
1)
Orang
yang berstatus jujur (مَحِلُّهُ الصِّدْقُ)
2)
Orang
yang baik hadisnya (جَيِّدُ الْحَدِيْث)
3)
Orang
yang bagus hadisnya (حَسَنُ الْحَدِيْث)
4)
Orang
yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain yang tsiqah (مُقَارِبُ الْحَدِيْث).
f.
Menunjukkan
arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah disebutkan diatas yang
diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan
(pengecilan arti), atau lafadz itu dikatikan dengan suatu pengharapan,
misalnya:
1)
Orang
yang jujur, insya Allah (صُدُوْقٌ إِنْشَاءَ الله)
2)
Orang
yang diharapkan tidak memiliki cacat (فُلَانٌ أَرْجُوْ
بِأَنَّ لَابَأْسَ بِه)
3)
Orang
yang sedikit kesalehannya (فُلَانٌ صويلح)
4)
Orang
yang di harapkan diterima hadisnya (فُلَانٌ مَقْبُوْل
حَدِيْثُهُ)
Para ahli ilmu menggunakan haits-hadits yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dil menurut tingkatan pertama sampai
tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits para rawi yang dita’dil
menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat
dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain. [9]
2.
Tingaktan dan lafadz-lafadz menjarh rawi
a.
Menunjukkan
kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan lafadz-lafadz yang
berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain (seperti sighat
muballagah) yang mengandung pengertian yang sejenisnnya dengan itu,
misalnya:
1)
Orang
yang paling dusta (اَوْضَعَ النَّاْس)
2)
Orang
yang paling bohong (اَكْذَبُ النَّاسْ)
3)
Orang
yang paling top kebohongannya (اِلَيْهِ الْمُنْتَقَى
فِى الْوَضْعِ)
b.
Menunjukkan
kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat muballagah,
misalnya:
1)
Orang
yang pembohong (كَذَّابُ)
2)
Orang
yang pendusta (وَضَّاعٌ)
3)
Orang
yang penipu (دَجَّالْ)
c.
Menunjukkan
kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, misalnya:
1)
Orang
yang dituduh bohong (فُلَانٌ مِتَّهَمٌ بِاْلكَذْبِ)
2)
Orang
yang dituduh dusta (اَوْمُتَّهِمٌ بِالْوَضْعِ)
3)
Orang
yang perlu diteliti (فُلَانُ فِيْهِ النَّظْرُ)
4)
Orang
yang gugur (فُلاَنٌ سَاقِطٌ)
5)
Orang
yang hadisnya telah hilang (فُلَانٌ ذَاهِبُ الْحَدِيْث)
6)
Orang
yang ditinggalkan hadisnya (فُلَانٌ مَتْرُوْكُ
الِحَدِيْث)
d.
Menunjukkan
kepada kelemahan yang sangat, misalnya:
1)
Orang
yang dilempar hadisnya (مُطْرَحُ الْحَدِيْثُ)
2)
Orang
yang lemah (فُلَانٌ ضَعِيْفٌ)
3)
Orang
yang ditolak hadisnya (فُلَانٌ مَرْدُوْدٌ الْحَدِيْث)
e.
Menunjukkan
kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya:
1)
Orang
yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya (فُلَانٌ
لَايُحْتَجُّ بِهِ)
2)
Orang
yang tidak dikenai identitasnya (فُلَانٌ مَجْهُوْلٌ)
3)
Orang
yang mungkar hadisnya (فُلَاٌن مًنْكَرٌ الْحَدِيْث)
4)
Orang
yang kacau hadisnya (فُلَانٌ مُضْطَرِبُ الْحَدِيْث)
5)
Orang
yang banyak menduga-duga (فُلَانٌ وَاهٍ)
f.
Menyifati
rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat itu berdekatan
dengan adil, misalnya:
1)
Orang
yang didla'ifkan hadisnya (ضُعِّفَ حَدِيْثَهُ)
2)
Orang
yang diperbincangkan (فُلَانٌ مُقَالٌ فِيْهِ)
3)
Orang
yang disingkiri (فُلَانٌ فِيْهِ خَلْفٌ)
4)
Orang
yang lunak (فُلَانٌ لَيَّن)
5)
Orang
yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya (فُلَانٌ
لَيِسَ بِالْحُجَّةْ)
6)
Orang
yang tidak kuat (فُلَانٌ لَيْسَ بِالْقَوِى)
Orang yang ditarjih menurut
tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat haditsnya tidak dapat dibuat
hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan-tingkatan
kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’itibar (tempat
membandingkan). [10]
F. Ulama Ahli Jarh
Wa Ta’dil
Para ulama
menyebutkan bahwasanya sebagian sahabat dikenal sering berbicara mengenai perawi,
mereka adalah : Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Salam, ‘Ubadah bin Ash-Shamit,
Anas bin Malik, Aisyah, berdasarkan apa ditemukan dari mereka berupa pendustaan
dan penolakan kepada sebagian orang yang menyampaikan hadits kepada mereka.
Maka ketika
muncul gerakan pemalsuan dalam hadits, para ulama bangkit untuk memeranginya,
mereka memperhatikan para perawi dan mengenali mereka. Dan sejumlah tabi’in
juga berbicara mengenai jarh dan ta’dil diantara mereka yang paling terkenal, Mereka
ini adalah generasi pertama.
1. Sa’id bin Jubair (wafat tahun 95 H)
2. Sa’id bin Al-Musayyib (wafat tahun 94 H)
3. ‘Amir Asy-Sya’bi (wafat tahun 103 H)
4. Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H)
Dan pertengahan
abad II Hijriah mulai muncul sejumlah ulama peneliti dan ulama besar hadits
yang pandai dalam mengetahui ihwal para perawi, sehingga penilaian mereka
terhadap para toog sanad diterima, karena mereka mempunyai kelebihan dalam
ketelitian. Diantara Mereka ini adalah generasi kedua, :
1. Ma’mar bin Rasyid (wafat tahun 153H)
2. Hisyam Ad-Dustawa’i (wafat tahun 153 H)
3. Abdurrahman bin ‘Amru Al-Auza’i (wafat tahun
157 H)
4. Syu’bah bin Al-Hajjaj (wafat tahun 160 H)
5. Sufyan At-Tsaury (wafat tahun 161 H)
6. Abdul Aziz bin Al-Majisun (wafat tahun 164 H)
7. Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H)
8. Hammad bin Zaid (wafat tahun 179 H)
9. Malik bin Anas (wafat tahun 179 H)
10. Abdullah bin Al-Mubarak (wafat tahun 181 H)
11. Hasyim bin Basyir (wafat tahun 183 H)
12. Abu Ishaq Al-Fazari (wafat tahun 188 H)
13. Abdurrahman bin Mahdi (wafat tahun 198 H)
14. Yahya bin Sa’id Al-Qaththan (wafat tahun 198
H)
Kemudian generasi ketiga, diantara para tokoh
adalah :
1. Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (wafat tahun
219 H)
2. Abu Al-Walid Ath-Thayalisi (wafat tahun 227 H)
3. Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), Imam
Al-Jarh wa At-Ta’dil pada masanya.
4. Ali bin Abdillah Al-Madini (wafat tahun 234 H)
5. Imam Ahmad bin Hnbal (wafat tahun 241 H)
Kemudian datang
setelah mereka generasi berikutnya, diantara para tokoh yang paling terkenal :
1. Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat
tahun 256 H)
2. Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdul Karim Ar-Razi
( wafat tahun 277 H)
3. Abu Hatim Muhammad bin Idris Ar-Razi (wafat
tahun 277 H)
Dan sebagian mereka ini tidak tertandingi dalam Al-Jarh wa
At-Ta’dil karena ketelitian mereka yang sempurna, dan terutama Yahya bin Ma’in,
Ali bin Al-Madini, dan Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, hal ini dapat dilihat bagi
orang yang menelaah kitab-kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil.[11]
G. Kitab-kitab
Jarh wa Ta’dil Yang Diperlukan Di Dalam Penelitian Hadits
Para ulama menulis buku-buku yang berkenaan dengan
al-jarh wa al-ta’dil, untuk menolak usaha-usaha yang mencemari keabsahan dan
orisinalitas hadits Nabi saw. Para ulama hadits membagi buku dalam al-jarh wa
al-ta’dil ke dalam tiga jenis : (1) buku-buku yang membahas para perawi yang
lemah (ad-dhu’afa’); (2) buku-buku yang membahas para perawi yang tsiqat; dan
(3) buku-buku yang mengumpulkan kedua jenis sebelumnya.
1. Buku-buku Ad-dhu’afa’
Buku-buku untuk jenis in, diantaranya:
a. Al-dhu’afa’ min Rijal al-Hadits, karya
al-Hassan al-Mada’ini ‘Ali ibn Muhammad al-Hafizh (w. 225 H).
b. Al-dhu’afa’ karya Yahya ibn Ma’in (w. 233 H).
c. Al-dhu’afa’ karya al-Bukhari, Muhammad ibn
Isma’il penulis al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H)
2. Buku-buku Al-Tsiqat
a. Al-Tsiqat wa al-Mutsabbitun karya ‘Ali ibn
‘Abdillah al-Madini (w. 234 H).
b. Al-Tsiqat karya Ahmad ibn ‘Abdillah ibn Shalih
al-‘Ijili (w. 261 H). Buku ini sangat masyhur dan memuat tidak kurang dari
2.116 biografi perawi hadits.
c. Al-Tsiqat karya Abu al-Arab al-Qayruwani Ahmad
ibn Muhammad ibn Ahmad al-Tamimi (w. 333 H), dan lain sebagainya.
3. Buku-buku yang Menggabungkan Al-Tsiqat dan
Adh-Dhu’afa’
Buku yang berbicara tentang ini sangat banyak
sekali, dan dapat dibatasi dalam tujuh varian: pertama, buku-buku al-jarh
wa al-ta’dil; kedua, buku-buku nama-nama dan gelar; ketiga, buku-buku
sejarah dan tahun wafat (al-wafayat); keempat, buku-buku thabaqat; kelima,
buku-buku tentang al-mu’talaf al-mukhtalaf dan al-muttafaq al-muftaraq; keenam,
buku-buku al-ilal; dan ketujuh, buku-buku pertanyaan (al-as’ilah) yang
diajukan kepada para imam.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan materi pembahasan dari
cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan
hadis yang berpengaruh besar terhadap klarifikasi hadisnya. Dengan mengetahui
ilmu al-Jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadist
shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi,
bukan dari matannya.
Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap
ulama lainnya, terkadang pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil
terhadap orang yang sama bisa bertentangan. Oleh sebab itu, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi (kriteria yang dimiliki) bagi orang yang men-Ta’dil-kan
(Mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan (Jarih).
Salahsatunya harus berilmu, takwa, wara’, jujur, tidak fanatik terhadap
golongan, dan mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
Dalam menentukan sebuah hadis, konsep mendahulukan jarh daripada ta’dil
bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas
ulama. Kemudian lafazh-lafazh yang digunakan untuk men-tajrih dan men-ta’dil
itu memiliki tingkatan. Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama
sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan orang yang di-tajrih
menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat
dibuat hujjah sama sekali.
Dengan demikian, Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan bagian penting
dari cabang ilmu ‘ulumul hadis dalam proses penyeleksian sebuah
hadits. Sehingga
bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits tersebut.
B.
Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para
perawi yang bisa diterima riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan
makalah sederhana ini dapat dijadikan referensi bagi para peminat hadits dalam
menentukan sikap pada sebuah hadits. Tentunya makalah ini masih banyak
kekurangan dengan kedhaifan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan
masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini. Akhirnya,
semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
[4] Drs. M. Solahudin, M.Ag & Agus
Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis, Bandung,: CV. Pustaka
Setia, 2009, h.159.
[5] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadits, Yogyakarta:Sultan Amai Press, 2008,
h.131-132.
[11] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hlm 86-88.
[12] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm
136-137.
Komentar
Posting Komentar